Let's join to be our partner Join Now!

Monolog Hati Episode 22 : Segenggam Tangan

Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Segenggam Tangan

Segenggam Tangan

Story Edelweiss - Aku duduk di tepi danau yang tenang ini, menghadap peradaban yang terlihat begitu indah dari jauh. Air danau terbentang luas di depanku, mencerminkan warna-warni senja yang merambat di langit. Namun, di dalam diriku, tak ada yang indah. Hanya hancur, reruntuhan perasaan yang terasa semakin dalam terkubur. Mereka tahu hancurku, namun mengapa tak ada satu pun uluran tangan yang bersedia untuk membantu membersihkan serpihan luka ini? Seperti pepatah lama yang mengatakan, "Sepi di tengah ramai, sepi di tengah sendiri, tak berbeda jauh." Tapi aku ingin melawan sepi ini, ingin merasa ada seseorang yang mendengarkan, yang mengerti, yang merasa.

Di sekitar tempat ini, aku melihat pasangan-pasangan berjalan berdua, tangan dalam tangan. Mereka tersenyum, tertawa, saling mencintai. Dalam momen itu, aku merasa seperti seorang penjelajah yang tersesat di gurun pasir yang tandus. Mengapa tak ada satupun tangan yang menuntunku berjalan menuju sembuh? Aku ingin melihat dunia ini dengan pandangan yang berbeda, seperti mata yang bisa melihat warna cerah di tengah kelam. Tapi aku merasa terjebak dalam labirin pikiran yang rumit, dengan tiada ujung dan tak terlihat cahaya.

Mungkin itu adalah salah satu ironi dari hidup, bahwa ketika kita paling merasa sendiri, kita dikelilingi oleh banyak orang. Namun, jarak antara hati kita dengan hati mereka terasa begitu jauh. Terkadang, aku merasa seperti burung yang terjebak dalam sangkar emas, memandang dunia luar yang bebas dan luas, namun tak bisa merasakannya. Mengapa tak ada satupun raga yang siap menyambutku dengan hangat? Mengapa tak ada seorang pun yang mengerti bahwa kadang-kadang kita hanya butuh pelukan, kata-kata lembut, dan telinga yang sabar mendengarkan keluh kesah?

Ada saat-saat ketika aku berbicara kepada diriku sendiri, berpura-pura ada seseorang yang mendengarkan. Aku berbicara tentang perasaanku, luka-luka yang masih membekas, dan impian-impian yang perlahan tenggelam dalam keheningan. Kadang-kadang, aku mencoba untuk menyusun kata-kata yang bisa merangkul diriku sendiri, meredakan kegelisahan, dan mencerahkan gelap yang mengelilingi hatiku. Tapi tak ada yang bisa menggantikan kehadiran nyata seseorang yang peduli, seseorang yang hadir dalam dunia nyata, bukan hanya dalam khayalan.

Mengapa tidak ada satu saja seseorang yang memberiku ruang untuk bercerita padanya? Aku ingin meluapkan segala yang ada di dalam diriku, sebagaimana sungai yang mengalir deras ketika tiba musim hujan. Aku ingin merasa bahwa ceritaku dihargai, bahwa kata-kataku didengarkan, bahwa aku tidak lagi merasa sendiri. Namun, ketika aku melihat sekelilingku, serasa tak ada yang peduli. Orang-orang terlalu sibuk dengan hidup mereka sendiri, terlalu terpaku pada layar ponsel mereka, terlalu terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka lupa bahwa kita semua adalah manusia yang memiliki kelemahan, rasa sakit, dan keinginan untuk diterima dan dicintai.

Aku tahu, tak mungkin mengharapkan semua orang di dunia ini untuk selalu peduli, untuk selalu ada di sampingku. Tapi aku hanya ingin satu, Tuhan. Satu tangan yang meraih tanganku ketika aku merasa terjatuh. Satu hati yang mengerti dan merasa rasa sakitku. Satu pendengar setia yang tak akan bosan mendengarkan ceritaku, bahkan jika cerita itu terdengar sama sekali tidak penting.

Dalam ketenangan danau ini, aku merenungkan perjalanan hidupku, bagaimana aku sampai pada titik ini. Aku ingat saat-saat bahagia dan tertawa, saat-saat ketika aku merasa penuh kehidupan. Namun, seperti debu yang perlahan-lahan mengendap, perasaan bahagia itu seakan-akan menghilang. Aku tak bisa lagi merasakan getaran hidup, dan itu membuatku merasa terasing, seperti tamu asing di dalam tubuhku sendiri.

Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa aku harus mencari pertolongan profesional, seorang terapis yang bisa membantuku mengatasi masalah ini. Dan mungkin mereka benar. Tapi terkadang, aku merasa bahwa pertolongan profesional itu seperti obat penahan rasa sakit. Ia bisa meredakan rasa sakit sejenak, namun tak bisa menyembuhkan luka sejati di dalam hati. Luka yang hanya bisa sembuh dengan cinta, pengertian, dan kehadiran seseorang yang peduli.

Dalam keheningan malam ini, bintang-bintang bersinar dengan gemilang di langit. Mereka adalah saksi bisu dari segala perasaan yang aku ungkapkan. Mungkin ada seorang di antara mereka yang terasa lebih terdekat, seperti bintang jatuh yang akan mengabulkan satu permintaan. Aku menatap bintang-bintang itu, berharap bahwa di suatu tempat, di dunia ini, ada seseorang yang juga menatap langit yang sama, dan merasa bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa menghubungkan hati kita.

Aku akhiri monolog hari ini. Semoga suatu hari, aku akan menemukan satu tangan yang meraih tanganku, satu hati yang mengerti, dan satu pendengar setia yang tak akan bosan mendengarkan ceritaku. Dan jika aku bisa menjadi bintang jatuh di langit seseorang, aku akan mengabulkan permintaannya dengan senang hati. Kita semua butuh satu sama lain, butuh cinta, perhatian, dan pengertian. Itulah yang membuat hidup ini indah, dan itulah yang akan membantu kita mengatasi segala rasa sakit dan kesepian yang mungkin kita alami. Semoga satu hari, semua yang kita butuhkan akan datang kepada kita dengan caranya yang khusus, dan kita akan merasa lebih utuh, lebih bersatu, dan lebih hidup.

Post a Comment

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.