Story Edelweiss - Hari ini, tepat dua tahun sejak semesta menyatukan langkah
kita dalam satu arah yang tak pernah aku duga sebelumnya. Dua tahun sejak waktu
menautkan kita dalam simpul yang begitu erat, hingga kadang aku bertanya-tanya,
apakah benang takdir memang telah ditenun sedemikian rupa sejak awal mula
semesta berbisik tentang cinta? Dan hari ini, aku ingin bicara padamu, bukan
hanya sebagai kekasih, tapi sebagai seseorang yang telah menjadi rumah dari
setiap jiwaku yang pulang dengan rindu. Monolog ini bukan hanya sekadar
kata-kata, tapi denyut hati yang kutumpahkan, bait demi bait, napas demi napas.
Setiap kali aku berkata rindu padamu, kamu selalu menjawab
dengan senyuman yang tipis tapi tulus, “Nanti kita akan bertemu.” Seolah-olah
pertemuan adalah titik temu, akhir dari segala kegelisahan dan kegundahan. Tapi
bagiku, rindu bukan sekadar perjalanan yang selesai ketika kau hadir. Rindu itu
seperti hujan yang terus turun meskipun tanah telah basah, seperti lagu yang
terus berdendang meski telinga telah jenuh mendengar. Bahkan ketika jarak sudah
tak lagi menjadi penghalang, rindu tetap tinggal, menari-nari di sudut hati,
menyusup diam-diam dalam detik-detik kebersamaan kita.
Kau tahu, aku pernah mencoba menjelaskan rindu itu seperti
apa. Tapi selalu gagal. Rindu padamu adalah sesuatu yang tidak mengenal logika.
Ia hidup sendiri, tumbuh liar, berakar dalam dadaku. Bahkan ketika kamu duduk
di sampingku, rindu itu masih saja menyeruak dari celah-celah keheningan.
Matamu yang menatapku pun tidak sanggup mengusirnya. Karena ternyata,
merindukanmu bukan tentang jarak fisik, tapi tentang betapa dalam aku
mencintaimu hingga rasanya hatiku selalu ingin lebih dekat, lebih melekat, lebih
larut dalam hadirmu yang tak pernah cukup kutangkap sepenuhnya.
Masih kuingat kata-katamu tempo lalu, “Mungkin nanti, relung
hatiku yang selalu berdebar saat bersamamu akan tenang ketika kita sudah saling
memiliki.” Tapi, Vee, bagiku detak itu tak pernah tenang. Justru semakin hari
semakin keras. Seperti gendang yang dipukul oleh tangan semangat yang tak tahu
lelah. Seperti hujan deras yang tak kunjung surut meski langit mulai terang.
Karena mencintaimu tak pernah berhenti mengejutkanku. Setiap hari bersamamu
selalu terasa seperti hari pertama aku jatuh cinta—deg-degan, gugup, penuh
harap, dan sesekali takut. Takut kehilanganmu. Takut dunia tiba-tiba mencuri
kamu dariku.
Kadang aku bertanya, kenapa perasaan ini tak juga reda?
Padahal kita sudah saling memiliki. Tapi jawabannya selalu sama: karena
mencintaimu bukan tentang “sudah” atau “telah”, melainkan tentang “terus”,
tentang “selalu”. Aku selalu mencintaimu. Aku terus mencintaimu. Dan aku tak
tahu caranya berhenti. Seolah-olah hatiku telah dikutuk untuk terus
mencintaimu, dalam bentuk paling murni, paling jujur, bahkan ketika dunia
seakan-akan ingin merobohkan segalanya.
Aku pun tak mengerti, mengapa merindukanmu menjadi hal yang
tak pernah tertolong untuk diberhentikan. Rasanya seperti kebiasaan napas yang
tak bisa disetop hanya karena paru-paru telah penuh. Seperti matahari yang
tetap menyinari meski bumi telah cukup hangat. Bahkan ketika kita menggenggam
tangan satu sama lain, ketika detik menjadi saksi bahwa kita di sini, bersama,
hati ini tetap gelisah. Ada sisi dari diriku yang takut—takut kehilangan, takut
terlambat mencintai lebih baik, takut tak mampu memberimu bahagia sebagaimana
kamu pantas menerimanya.
Memilikimu adalah seperti menggenggam cahaya, sesuatu yang
membuatku hangat tapi juga takut jika ia tiba-tiba redup. Tapi aku tahu, Tuhan
tak pernah memberiku sesuatu yang sia-sia. Kamu adalah buah kebahagiaan yang
kupetik dari pohon panjang kesabaran. Jawaban dari doa-doa panjang yang
kulepaskan malam-malam sunyi, ketika aku bahkan tak tahu harus berharap pada
siapa selain langit. Dan kemudian kamu datang, mengisi relung yang lama kosong,
menghadirkan tawa pada duka, menjadi tempat aku pulang setelah hari yang penuh
luka.
Vee, mencintaimu adalah hal pasti yang terus aku lakukan.
Bahkan ketika aku tidak mengatakan apa-apa, bahkan ketika dunia membisukan
kita, cinta itu tetap mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Ia
menemukan caranya sendiri untuk tetap hidup—dalam sentuhan, dalam pandangan,
dalam diam-diam doa yang kupanjatkan setiap malam. Kadang aku berpikir, andai
cinta ini bisa kau dengar dalam bentuk suara, mungkin ia terdengar seperti
ribuan nyanyian yang saling bersahutan, penuh harmoni, penuh getaran yang tak
bisa didefinisikan dengan bahasa manusia.
Dua tahun, Vee. Dua tahun bukan waktu yang singkat, tapi
juga bukan waktu yang cukup untuk membahasakan seluruh rasa ini. Setiap hari,
aku menemukan sisi baru dari dirimu yang membuatku jatuh cinta sekali lagi.
Entah itu caramu tertawa kecil saat pura-pura marah, atau caramu diam saat
sedang berpikir—semuanya menghipnotis. Kamu selalu punya cara untuk membuat
dunia di sekitarmu menjadi lebih hidup, lebih hangat, lebih layak untuk
diperjuangkan. Aku sering diam-diam memperhatikanmu, hanya untuk meyakinkan diriku
sendiri bahwa kamu benar-benar nyata, bukan mimpi yang hanya singgah lalu
pergi.
Aku tak tahu bagaimana masa depan nanti. Tapi yang aku tahu
pasti, aku ingin kamu selalu menjadi bagian dari masa depanku. Aku ingin kita
merayakan ulang tahun cinta ini bukan hanya hari ini, tapi juga tahun-tahun
mendatang. Aku ingin terus menulis kisah ini bersamamu, tanpa jeda, tanpa titik
akhir. Dan andai waktu memberiku pilihan untuk mengulang segalanya dari awal,
aku akan tetap memilih mencintaimu, dengan cara yang sama, dengan hati yang
sama, dengan rindu yang bahkan belum pernah usai sejak pertama kali aku
mengenal namamu.
Dan kini, saat angin Mei kembali menghembuskan aroma bunga
yang sama seperti dua tahun lalu, aku kembali mengenang awal mula segalanya.
Saat kita masih meraba-raba arah, mencoba memahami arti tatapan, membedakan
antara nyaman dan cinta. Aku masih ingat, bagaimana aku mendekatimu dengan
langkah-langkah kecil, tak ingin terburu, namun juga tak sanggup berpaling.
Sejak awal, kamu seperti teka-teki yang justru membuatku ingin memecahkannya
berkali-kali, bahkan ketika jawabannya sudah kutahu: kamu adalah satu-satunya
yang ingin aku perjuangkan sampai akhir waktu.
Aku tak akan pernah menyebut perjalanan kita sempurna.
Tidak, Vee. Kita pernah lelah, pernah salah paham, pernah diam-diam menahan
tangis saat malam terlalu sunyi untuk berbicara. Tapi justru di titik-titik
itulah aku semakin yakin, bahwa mencintaimu bukan sekadar perasaan, tapi
keputusan. Keputusan untuk tetap tinggal meski badai datang, untuk tetap
menggenggam walau tangan kita basah oleh air mata. Karena dalam dirimu aku
temukan rumah yang tak hanya menyambutku pulang, tapi juga bersedia membenahiku
ketika aku porak-poranda.
Mungkin cinta bukan hal besar yang selalu harus dirayakan
dengan pesta dan gegap gempita. Cinta bisa jadi adalah momen kecil ketika kamu
menggenggam tanganku saat aku gugup. Atau saat kamu mengingat hal-hal remeh
yang bahkan aku sendiri lupa. Cinta adalah ketika kamu memelukku tanpa alasan,
dan aku merasa seluruh luka dunia seketika reda. Cinta adalah kamu. Dalam
bentuk paling sederhana dan paling megah sekaligus.
Kamu tahu, Vee, ada saat-saat di mana aku hanya diam menatap
langit, lalu tersenyum. Karena aku sadar, di tengah segala kemungkinan yang
bisa saja terjadi dalam hidup ini, aku beruntung dipertemukan denganmu. Di
antara jutaan nama, semesta memilih untuk menyematkan namamu dalam setiap
doaku. Dan jika nanti hidup membawa kita pada simpang jalan yang rumit, aku
ingin kamu tahu bahwa aku akan tetap memilih jalan yang ada kamu di ujungnya.
Meski berliku. Meski gelap. Aku akan tetap melangkah, selama kamu yang menunggu
di sana.
Aku mencintaimu, dengan cara yang mungkin tak bisa aku
uraikan sepenuhnya. Kadang cinta ini muncul dalam bentuk diam, dalam tatapan
penuh makna, dalam senyum yang menyembunyikan rasa takut kehilangan. Kadang ia
hadir dalam bentuk amarah kecil saat kamu lupa makan, atau dalam bentuk lelah
yang tetap ingin aku bagi bersamamu. Cinta ini bukan sekadar kata, tapi nafas
yang mendesak keluar meski aku mencoba menyimpannya rapat-rapat.
Dua tahun bersamamu mengajarkanku banyak hal. Tentang
kesabaran, tentang memaafkan, tentang memperbaiki diri tanpa diminta. Kamu
adalah guru terbaik dalam kelas kehidupan yang tak pernah aku daftar
sebelumnya, tapi syukurku tak pernah habis karena akhirnya aku bisa duduk di
sana—di sampingmu—belajar arti cinta dalam versi paling nyata.
Hari ini, saat kita kembali merayakan hari jadi ini, aku
tidak ingin menjanjikan langit yang tak bisa aku gapai, atau janji-janji manis
yang mudah terlupa. Aku hanya ingin menjanjikan satu hal: aku akan terus
mencintaimu, dalam keadaan apapun kamu nantinya. Entah ketika rambutmu telah
diselimuti uban, atau ketika tanganmu mulai gemetar menahan waktu, aku tetap
ingin ada di sana—menemanimu, mencintaimu, membisikkan namamu dalam doa yang
tak pernah henti.
Aku tahu cinta tak selalu mudah. Tapi kamu membuatnya layak.
Kamu menjadikannya perjuangan yang ingin aku hadapi setiap hari. Dan jika nanti
usia kita terus bertambah, semoga kita tidak hanya tumbuh tua bersama, tapi
juga tumbuh dalam cinta yang semakin kuat, semakin dalam, dan semakin penuh
makna. Aku ingin kita menjadi kisah yang diceritakan berulang-ulang, bukan
karena dramanya, tapi karena ketulusannya.
Jadi, Vee, di hari yang indah ini, izinkan aku mengucapkan
satu kalimat yang mungkin sudah terlalu sering kamu dengar, tapi selalu datang
dari tempat paling tulus dalam hatiku: aku mencintaimu. Hari ini, esok, dan
untuk semua hari yang akan datang. Terima kasih karena sudah menjadi rumah,
pelabuhan, dan tempat semua rinduku pulang.
Selamat ulang tahun cinta kita yang kedua. Semoga dua tahun
ini hanyalah permulaan dari perjalanan panjang yang akan terus kita ukir
bersama. Dalam peluk yang tak pernah lelah, dalam doa yang terus kuletakkan di
antara jarak dan waktu, aku akan selalu memilihmu.
Selamanya.
Happy Aniversary Sayang