Let's join to be our partner Join Now!

HUKUM REPRESIF DAN RESPONSIVE

Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated
Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Oleh karena pada hakekatnya hukum selalu berjalan dibelakang atau hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat, hukum cenderung “tidak mampu” menyelesaikan segala permasalahan yang ada dalam masyarakat.  Di Indonesia contohnya, kondisi Indonesia saat ini masih sangat berantakan, masih sangat banyak masalah-masalah sosial, protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain sebagainya.
Pendekatan teori neo-evolusioner menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Teubner menggunakan  kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum reflektif. Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Phillipe Nonet dan Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: 
1.   Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif ( hukum represif )
2.   Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan                   melindungi integritas dirinya ( hukum otonom )
3.   Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan  aspirasi sosial (hukum responsif ).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Perhatian paling utama dari hukum represif ini adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian dengan cenderung tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Meskipun hukum represif ini memiliki tujuan yang baik seperti menciptakan keadilan, menciptakan ketertiban umum, menciptakan perdamaian, dan lain sebagainya, hukum represif ini tidak akan pernah mencapai hakekat dari hukum itu sendiri karena ia (hukum represif) mengabaikan kepentingan atau kebutuhan dari masyarakatnya sendiri. Selain itu, hukum represif selalu dihubungkan dengan kekuasaan, hukum represif ini tidak boleh dilihat sebagai suatu kekuatan kekuasaan yang terlalu kuat karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan menimbulkan ketidak adilan. Selain itu,   Hukum represif ini tidak menjamin keadilan substantif sehingga penguasa memiliki potensi atau membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo. 
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dimana hukum represif dapat memanifestasikan dirinya yaitu:
  Ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum.
  Pemerintah yang melampaui batas.
  Kebijakan umum yang berat sebelah.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
1.       Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.
2.       Ketiadaan kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan. Masyarakat hanya dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya tetapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Apabila ada yang disebut dengan “keadilan” maka hal itupun sangatlah terbatas.
3.       Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
4.    Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
5. Institusi-institusi hukum langsung berakses kepada kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan Negara dan tunduk kepada kepentingan dengan sendiri (“rasion d etat”)
6.   Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari pengakuan hukum.
7.     Badan-badan pengawasan khusus seperti polisi, menjadi pusar kekuasaan yang bebas, yang terisolasi dari konteks sosialyang moderat dan mampu melawan otoritas politik.
8.      Suatu resim “hukun rangkap” melembagakan keadilan kelas, dengan mengkosolidasikan dan mengesahkan polah-polah sub —ordinasi social.
9.       Perundang-undang pidana mencerminkan dominasi atas adat istiadat atau kebudayaan dan sangat menonjolkan moral yang legal (legal moralism).

Hukum yang bersifat responsif dapat diartikan sebagai suatu sikap yang melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat itu sendiri. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Hukum responsive datat diartikan sebagai hukum yang merupakan sarana merespon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Dengan kata lain, hukum responsif ini merupakan tipe hukum yang menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.
Tipe hukum responsif mengimplikasikan dua hal, yaitu :
1.     Hukum harus fungsional pragmatis, bertujuan dan rasional.
2.     Tujuan adalah menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan ;    yang  berarti tujuan sebagai norma kritik. Dengan demikian mengendalikan kebebasan administratif serta mengurangi resiko “kelemahan lembaga”.
ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah :
Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan.
Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan.
Dalam model hukum responsif ini, masyarakat dapat menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partispatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih di dominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistik).
 Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif, dalam arti mencerminkan mencerminkan kehendak-kehendak dan anspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positifitik-instrumentalistik, dalam arti mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah.
Cakupan isi hukum yang responsif itu biasanya rinsi, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail, sehingga tidak dapat ditafsir secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan pada hukum konservatif  biasanya di muat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu (makna ganda), sehingga memberi peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagi peraturan pelaksanaan (interpretative).

Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya.

Post a Comment

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.