Let's join to be our partner Join Now!

Yang Terabaikan

Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Story Edelweiss - Aku ini siapa bagimu, sebenarnya? Pertanyaan itu berulang kali aku lempar ke langit malam, berharap jawabannya jatuh bersamaan dengan bintang yang gugur. Tapi langit terlalu sibuk menyembunyikan rahasianya, seperti kamu yang terlalu pandai menutupi apa yang sebenarnya kau rasa. Aku ini seperti bunga yang tumbuh di sudut taman—cantik, mungkin, tapi tak pernah kau sirami. Aku hidup dari sisa embun yang kebetulan jatuh, dari sisa perhatian yang tercecer karena hatimu terlalu penuh untuk seseorang yang bukan aku.

Kau tahu rasanya diberi harapan tanpa pernah menjadi tujuan? Seperti layang-layang yang kau terbangkan tinggi, namun talinya kau pegang erat agar aku tak benar-benar bebas. Seolah aku penting, tapi hanya saat kau butuh tempat singgah dari badai. Saat langitmu mendung, kau cari aku. Tapi saat mentarimu cerah kembali, aku dilupakan seperti sisa hujan di jendela—sekadar jejak, bukan tujuan.

Aku bukan buta. Aku tahu ketika kamu menatapku, ada jeda yang tak bisa kau sembunyikan. Ada nama lain di balik sorot matamu yang tak pernah kau sebutkan, tapi aku tahu. Dan tetap saja aku bertahan. Seperti pohon yang tetap berdiri meski tahu badai berikutnya bisa saja mematahkan semua dahannya. Karena kamu telah membuatku percaya, bahwa aku pantas dicintai. Tapi ternyata aku hanya pantas untuk menemani, bukan dimiliki.

Aku ini seperti kursi tua di sudut rumah. Selalu ada, tapi jarang dipakai. Kamu tahu aku di sana, dan itu cukup bagimu. Tapi bagiku? Aku ingin lebih dari sekadar hadir. Aku ingin dilihat. Aku ingin dirasakan. Aku ingin menjadi yang pertama kamu cari saat pagi datang, bukan pilihan terakhir ketika semua hal lain tak lagi ada.

Kamu bertingkah seolah aku penting—dan mungkin, dalam momen-momen kecil yang kau tunjukkan, aku memang penting bagimu. Tapi tidak cukup penting untuk kau perjuangkan. Tidak cukup untuk kau jaga. Tidak cukup untuk kau prioritaskan. Dan di sanalah luka itu lahir: dari hal-hal kecil yang tak dilakukan, dari perhatian yang ditahan, dari kata-kata yang tak pernah diucap.

Kau tahu, aku ini seperti jendela yang selalu terbuka. Menanti anginmu datang, tapi hanya dibiarkan terbuka sepanjang waktu tanpa ada yang masuk. Aku mulai berdebu, mulai retak. Tapi aku tetap terbuka. Karena aku masih berharap, suatu hari kamu akan masuk, melihatku, dan berkata, “Maaf sudah lama membiarkanmu menunggu.”

Tapi hari itu tak pernah datang. Kamu datang dan pergi sesukamu, membawa sedikit harapan, tapi tak pernah benar-benar tinggal. Kau mempertahankanku, katanya. Tapi kau tak pernah benar-benar merawatku. Seperti benih yang kau tanam lalu kau biarkan tumbuh sendiri, berharap semesta yang menyiram dan menjaga.

Terkadang aku bertanya-tanya, mungkin aku ini hanya pelabuhan sementara. Tempatmu berlabuh saat laut sedang bergelora, tapi tak pernah kau niatkan menjadi rumah. Aku ini tenang, aku ini luas, tapi bukan tempat kau ingin tinggal lama. Hanya tempat singgah, bukan tujuan akhir. Dan meski aku tahu itu menyakitkan, aku tetap membuka dermaga untukmu, berkali-kali.

Kau tahu rasanya menjadi penting hanya di waktu-waktu yang kamu tentukan? Aku ini seperti alarm yang hanya kau nyalakan saat kamu takut terlambat, tapi kau matikan kembali ketika tak lagi dibutuhkan. Padahal aku ingin menjadi nyanyian pagi yang kamu rindukan, bukan sekadar pengingat yang kau bisukan.

Ada harapan yang kamu tanam di hatiku, tapi tidak pernah kau sirami. Dan yang paling menyakitkan bukanlah keringnya harapan itu, tapi kenyataan bahwa kamu tahu aku menunggu. Kamu tahu aku berharap. Tapi kamu diam. Seolah menertawakan ketidakberdayaanku mencintaimu dengan cara yang paling tulus, tapi juga paling bodoh.

Aku ini seperti buku yang pernah kau baca setengah halaman. Kau beri lipatan kecil di pojoknya seolah ingin kembali, tapi tak pernah kau lanjutkan lagi. Dan setiap malam, aku memeluk lipatan itu, berharap kamu akan membuka kembali lembar demi lembar, membaca aku sampai habis, memaknai setiap kalimat yang kutulis dengan cinta yang tak kau balas.

Lucu, ya? Aku bisa begitu setia pada seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar hadir sepenuhnya. Tapi bukan karena aku lemah. Aku hanya terlalu dalam. Terlalu tulus. Terlalu yakin bahwa cinta akan menemukan jalannya jika aku cukup sabar. Tapi kadang cinta juga bisa tersesat, dan dalam kisah ini, sepertinya aku yang menjadi simpang jalan yang kamu tinggalkan.

Aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku tidak cukup baik? Tidak cukup menarik? Tidak cukup ‘dia’? Tapi semakin aku menyalahkan diriku, semakin aku tenggelam dalam jurang yang kamu gali dari ketidakjelasan. Karena ternyata, ini bukan soal aku tak cukup, tapi kamu yang tak pernah berniat penuh.

Kamu mempertahankanku, katanya. Tapi mempertahankan itu bukan sekadar menahan agar aku tidak pergi. Mempertahankan adalah memberi alasan untuk tinggal, memberi ruang untuk tumbuh, memberi waktu untuk mendengar. Tapi kamu hanya memegangku seperti tali layangan—tak kau lepaskan, tapi tak juga kau tarik mendekat. Dan aku lelah. Menjadi sesuatu yang selalu tergantung.

Kau tahu, aku ingin marah. Ingin berhenti. Ingin mengatakan bahwa aku juga layak dicintai sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Tapi bagaimana bisa aku marah pada seseorang yang menjadi alasan detak jantungku tak pernah seragam? Bagaimana bisa aku membenci senyuman yang selalu kutunggu, bahkan di hari-hari yang paling sepi?

Setengah yang Penuh Luka

Aku ini siapa bagimu—
mungkin sekadar jeda,
di antara mereka yang kau beri nama
sementara aku hanya aksara tak terbaca.

Kau datang, membawa cahaya,
lalu pergi, meninggalkan bayangan yang lebih panjang dari malam.
Aku diberi harapan,
tapi tak pernah dijadikan tujuan.

Seperti bunga di sudut taman,
aku mekar dalam diam—
tanpa siram, tanpa pandang,
hanya tumbuh karena semesta kasihan.

Kau genggam aku saat dingin,
lepaskan saat matahari kembali bersinar.
Aku ini api unggunmu saat badai,
tapi abu bagimu di pagi hari.

Katamu, aku dipertahankan.
Nyatanya, aku hanya diikat
agar tidak pergi,
bukan karena kau ingin aku tetap di sini.

Kau letakkan aku di antara sibuk dan tak peduli,
antara rindu yang palsu dan janji yang basi.
Dan aku—
tetap menunggu.

Aku adalah jendela yang selalu terbuka,
berharap anginmu masuk membawa kabar bahagia.
Tapi yang datang hanyalah debu,
dan kesepian yang menetap seperti sarang laba-laba.

Kau tak pernah tahu,
aku selalu menghitung detik di sela bisumu.
Membaca ulang pesan singkat yang kau kirim,
seolah tiap huruf menyimpan makna dalam.

Aku mencintaimu seperti langit mencintai matahari,
terbakar tapi tak bisa lari.
Dan kamu?
Kau mencintaiku seperti bumi mencintai hujan—
menyambut sesaat, lalu membiarkan genangannya mengering sendiri.

Aku tak ingin menjadi pilihan
yang kau ingat hanya ketika semua pergi.
Aku ingin menjadi rumah,
bukan halte di tengah perjalananmu yang penuh ragu.

Tapi aku sadar,
cinta yang tidak dibalas sepenuh jiwa
akan tumbuh menjadi luka—
dan aku telah menjadi taman penuh duri dari benih-benih harapanmu.

Kini aku pelan-pelan belajar,
bahwa dicintai setengah itu lebih menyakitkan
daripada tak dicintai sama sekali.
Bahwa dipertahankan tanpa diperjuangkan
hanyalah bentuk lain dari pelarian.

Maka, hari ini,
aku pamit dalam diam yang paling damai.
Membawa cintaku yang pernah kau letakkan sembarangan
dan kutanam di dada yang tak lagi berharap.

*******************************

Post a Comment

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.