Story Edelweiss - Aku ini siapa bagimu, sebenarnya?
Pertanyaan itu berulang kali aku lempar ke langit malam, berharap jawabannya
jatuh bersamaan dengan bintang yang gugur. Tapi langit terlalu sibuk
menyembunyikan rahasianya, seperti kamu yang terlalu pandai menutupi apa yang
sebenarnya kau rasa. Aku ini seperti bunga yang tumbuh di sudut taman—cantik,
mungkin, tapi tak pernah kau sirami. Aku hidup dari sisa embun yang kebetulan
jatuh, dari sisa perhatian yang tercecer karena hatimu terlalu penuh untuk
seseorang yang bukan aku.
Kau tahu rasanya diberi harapan tanpa pernah menjadi tujuan?
Seperti layang-layang yang kau terbangkan tinggi, namun talinya kau pegang erat
agar aku tak benar-benar bebas. Seolah aku penting, tapi hanya saat kau butuh
tempat singgah dari badai. Saat langitmu mendung, kau cari aku. Tapi saat
mentarimu cerah kembali, aku dilupakan seperti sisa hujan di jendela—sekadar
jejak, bukan tujuan.
Aku bukan buta. Aku tahu ketika kamu menatapku, ada jeda
yang tak bisa kau sembunyikan. Ada nama lain di balik sorot matamu yang tak
pernah kau sebutkan, tapi aku tahu. Dan tetap saja aku bertahan. Seperti pohon
yang tetap berdiri meski tahu badai berikutnya bisa saja mematahkan semua
dahannya. Karena kamu telah membuatku percaya, bahwa aku pantas dicintai. Tapi
ternyata aku hanya pantas untuk menemani, bukan dimiliki.
Aku ini seperti kursi tua di sudut rumah. Selalu ada, tapi
jarang dipakai. Kamu tahu aku di sana, dan itu cukup bagimu. Tapi bagiku? Aku
ingin lebih dari sekadar hadir. Aku ingin dilihat. Aku ingin dirasakan. Aku
ingin menjadi yang pertama kamu cari saat pagi datang, bukan pilihan terakhir
ketika semua hal lain tak lagi ada.
Kamu bertingkah seolah aku penting—dan mungkin, dalam
momen-momen kecil yang kau tunjukkan, aku memang penting bagimu. Tapi tidak
cukup penting untuk kau perjuangkan. Tidak cukup untuk kau jaga. Tidak cukup
untuk kau prioritaskan. Dan di sanalah luka itu lahir: dari hal-hal kecil yang
tak dilakukan, dari perhatian yang ditahan, dari kata-kata yang tak pernah
diucap.
Kau tahu, aku ini seperti jendela yang selalu terbuka.
Menanti anginmu datang, tapi hanya dibiarkan terbuka sepanjang waktu tanpa ada
yang masuk. Aku mulai berdebu, mulai retak. Tapi aku tetap terbuka. Karena aku
masih berharap, suatu hari kamu akan masuk, melihatku, dan berkata, “Maaf sudah
lama membiarkanmu menunggu.”
Tapi hari itu tak pernah datang. Kamu datang dan pergi
sesukamu, membawa sedikit harapan, tapi tak pernah benar-benar tinggal. Kau
mempertahankanku, katanya. Tapi kau tak pernah benar-benar merawatku. Seperti
benih yang kau tanam lalu kau biarkan tumbuh sendiri, berharap semesta yang
menyiram dan menjaga.
Terkadang aku bertanya-tanya, mungkin aku ini hanya
pelabuhan sementara. Tempatmu berlabuh saat laut sedang bergelora, tapi tak
pernah kau niatkan menjadi rumah. Aku ini tenang, aku ini luas, tapi bukan
tempat kau ingin tinggal lama. Hanya tempat singgah, bukan tujuan akhir. Dan
meski aku tahu itu menyakitkan, aku tetap membuka dermaga untukmu,
berkali-kali.
Kau tahu rasanya menjadi penting hanya di waktu-waktu yang
kamu tentukan? Aku ini seperti alarm yang hanya kau nyalakan saat kamu takut
terlambat, tapi kau matikan kembali ketika tak lagi dibutuhkan. Padahal aku
ingin menjadi nyanyian pagi yang kamu rindukan, bukan sekadar pengingat yang
kau bisukan.
Ada harapan yang kamu tanam di hatiku, tapi tidak pernah kau
sirami. Dan yang paling menyakitkan bukanlah keringnya harapan itu, tapi
kenyataan bahwa kamu tahu aku menunggu. Kamu tahu aku berharap. Tapi kamu diam.
Seolah menertawakan ketidakberdayaanku mencintaimu dengan cara yang paling
tulus, tapi juga paling bodoh.
Aku ini seperti buku yang pernah kau baca setengah halaman.
Kau beri lipatan kecil di pojoknya seolah ingin kembali, tapi tak pernah kau
lanjutkan lagi. Dan setiap malam, aku memeluk lipatan itu, berharap kamu akan
membuka kembali lembar demi lembar, membaca aku sampai habis, memaknai setiap
kalimat yang kutulis dengan cinta yang tak kau balas.
Lucu, ya? Aku bisa begitu setia pada seseorang yang bahkan
tak pernah benar-benar hadir sepenuhnya. Tapi bukan karena aku lemah. Aku hanya
terlalu dalam. Terlalu tulus. Terlalu yakin bahwa cinta akan menemukan jalannya
jika aku cukup sabar. Tapi kadang cinta juga bisa tersesat, dan dalam kisah
ini, sepertinya aku yang menjadi simpang jalan yang kamu tinggalkan.
Aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku tidak cukup
baik? Tidak cukup menarik? Tidak cukup ‘dia’? Tapi semakin aku menyalahkan
diriku, semakin aku tenggelam dalam jurang yang kamu gali dari ketidakjelasan.
Karena ternyata, ini bukan soal aku tak cukup, tapi kamu yang tak pernah
berniat penuh.
Kamu mempertahankanku, katanya. Tapi mempertahankan itu
bukan sekadar menahan agar aku tidak pergi. Mempertahankan adalah memberi
alasan untuk tinggal, memberi ruang untuk tumbuh, memberi waktu untuk
mendengar. Tapi kamu hanya memegangku seperti tali layangan—tak kau lepaskan,
tapi tak juga kau tarik mendekat. Dan aku lelah. Menjadi sesuatu yang selalu
tergantung.
Kau tahu, aku ingin marah. Ingin berhenti. Ingin mengatakan
bahwa aku juga layak dicintai sepenuh hati, bukan setengah-setengah. Tapi
bagaimana bisa aku marah pada seseorang yang menjadi alasan detak jantungku tak
pernah seragam? Bagaimana bisa aku membenci senyuman yang selalu kutunggu,
bahkan di hari-hari yang paling sepi?
Setengah yang Penuh Luka
Aku ini siapa bagimu—
mungkin sekadar jeda,
di antara mereka yang kau beri nama
sementara aku hanya aksara tak terbaca.
Kau datang, membawa
cahaya,
lalu pergi, meninggalkan bayangan yang lebih panjang dari malam.
Aku diberi harapan,
tapi tak pernah dijadikan tujuan.
Seperti bunga di sudut
taman,
aku mekar dalam diam—
tanpa siram, tanpa pandang,
hanya tumbuh karena semesta kasihan.
Kau genggam aku saat
dingin,
lepaskan saat matahari kembali bersinar.
Aku ini api unggunmu saat badai,
tapi abu bagimu di pagi hari.
Katamu, aku
dipertahankan.
Nyatanya, aku hanya diikat
agar tidak pergi,
bukan karena kau ingin aku tetap di sini.
Kau letakkan aku di
antara sibuk dan tak peduli,
antara rindu yang palsu dan janji yang basi.
Dan aku—
tetap menunggu.
Aku adalah jendela
yang selalu terbuka,
berharap anginmu masuk membawa kabar bahagia.
Tapi yang datang hanyalah debu,
dan kesepian yang menetap seperti sarang laba-laba.
Kau tak pernah tahu,
aku selalu menghitung detik di sela bisumu.
Membaca ulang pesan singkat yang kau kirim,
seolah tiap huruf menyimpan makna dalam.
Aku mencintaimu
seperti langit mencintai matahari,
terbakar tapi tak bisa lari.
Dan kamu?
Kau mencintaiku seperti bumi mencintai hujan—
menyambut sesaat, lalu membiarkan genangannya mengering sendiri.
Aku tak ingin menjadi
pilihan
yang kau ingat hanya ketika semua pergi.
Aku ingin menjadi rumah,
bukan halte di tengah perjalananmu yang penuh ragu.
Tapi aku sadar,
cinta yang tidak dibalas sepenuh jiwa
akan tumbuh menjadi luka—
dan aku telah menjadi taman penuh duri dari benih-benih harapanmu.
Kini aku pelan-pelan
belajar,
bahwa dicintai setengah itu lebih menyakitkan
daripada tak dicintai sama sekali.
Bahwa dipertahankan tanpa diperjuangkan
hanyalah bentuk lain dari pelarian.
Maka, hari ini,
aku pamit dalam diam yang paling damai.
Membawa cintaku yang pernah kau letakkan sembarangan
dan kutanam di dada yang tak lagi berharap.
*******************************